Dok. Pribadi Egi Ningrat (penulis). |
Mataram,Dimensiummat.com. Adanya isu amandemen ke-5 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden tiga periode, bukanlah sekedar rumor atau bualan semata. Kenapa demikian, bahwa pola asymmetric war (perang asimetris) menengarai hal tersebut justru merupakan skema dan skenario yang hendak digelar. Ini asumsi awal. Masih perlu diuji.
Ya, asymmetric war mengajarkan pola dan urutan langkah guna meraih apapun, misalnya, dalam hal ini adalah amandemen ke-5 UUD 1945 melalui tiga tahapan yaitu isu, tema, agenda (skema) atau disingkat ITS.
Isu disebar guna melihat reaksi serta mempengaruhi publik; kemudian tema digulirkan, selain untuk mempertebal pengaruh (isu) juga dalam rangka menggiring opini. Jika opini (agenda) telah terbentuk kuat di benak publik lalu dianggap lumrah, maka skema pun dihampar atau digelar. Itu urut-urutan lazim dalam pola perang nirmiliter atau asymmetric war.
Nah, membaca pola asimetris di atas pada sebuah peristiwa, contohnya, bisa dimulai dari isu dahulu atau dari skema terlebih dulu.
Pertanyaannya kini: "Jika skemanya ialah amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, lantas, apa gerangan isu dan agenda?"
Tampaknya peristiwa KLB Demokrat (menurut hemat penulis) itulah pintu pertama. Isu pembuka atau istilah kerennya test the water. Melihat reaksi dan gejolak publik atas tebaran isu.
Secara asimetris, peran isu sangatlah urgen. Kenapa demikian, karena apabila publik menolak secara keras, biasanya isu akan ditarik kembali atau dibatalkan. Seperti halnya investasi miras kemarin, misalnya, akibat gelombang penolakan publik relatif kuat maka isu pun dicabut. Tak dilanjut menjadi kebijakan atau program. Akan tetapi, jika publik terlihat adem-adem saja (menerima) niscaya agendapun digulirkan.
Tampaknya, respon publik terhadap isu KLB Demokrat di Sumut hampir tak ada gejolak signifikan. Publik terlihat 'bodo amat'. Ini berbeda dengan isu investasi miras. Gaduh luar biasa. Memang ada reaksi di level akademis soal KLB namun kecil dan elitis. Hanya riak - riak menyoal etika politik, atau dianggap urusan internal partai, ataupun soal hukum karma akibat kiprah masa lalu. Jadi, simpulan awal: tak ada gejolak (publik menerima) dengan adanya peristiwa "isu kudeta" di Sumut, bahkan ramai olok-olok nitizen yang sifatnya nyukurin.
Pertanyaan berikut, "Apa agenda lanjutan setelah isu ditelan oleh publik?"
Tak lain ialah koalisi tunggal partai di parlemen dalam rangka meloloskan amandemen ke-5 UUD 1945. Mengapa? Karena real oposisi saat ini hanya tersisa Demokrat dan PKS saja, lainnya sudah masuk koalisi. Maka untuk meraih kuarom koalisi tunggal dimaksud, Demokrat kudu digoyang dan ditarik menjadi koalisi. Besok mungkin PKS yang digoyang, misalnya, atau tetap dibiarkan bila suaranya dianggap kecil.
Memang ada setingan bahwa 'kudeta' di Sumut terkait hajatan 2024, karena sang calon dari Demokrat sudah meminta restu "mbah"-nya. Tetapi abaikan dulu, lain waktu kita bahas. Sekarang balik lagi ke isu amandemen ke-5.
Permasalahan kini bukan soal amandemen ke-5, ke-6 atau revisi UU tersebut, akan tetapi, apakah amandemen tersebut demi Kepentingan Nasional RI (KENARI); atau ada hidden agenda lain; atau jangan-jangan justru menguntungkan Kepentingan Negara Asing (KENARA)?
Geopolitik mencermati, bahwa amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 (1999-2002) bukanlah peristiwa perubahan (konstitusi) lazimnya sesuai amanat reformasi, tetapi ada penumpang gelap bermain cantik lagi senyap. Gilirannya, amandemen lebih menjurus kepada apa yang disebut dengan istilah "kudeta konstitusi".
Lantas, apa indikatornya jika amandemen periode 1999 - 2002 dianggap sebagai kudeta konstitusi?
Penulis: Egi Ningrat, mahasiswa semester II Fisipol UMMAT.
0 Comments