Iklan

Sepucuk Surat dari Gunung Tambora

Dok. Google image.

Karya: Julhaf Riansyah


Entah harus dari mana aku memulai cerita ini

Kabut hitam mulai mendarat di tanah 

kelahiranku

Semesta mulai gelap seketika

Gemuruh panik menderu bersama detak 

jantung

Berdenyut tanpa perlawanan, 

merombak disegala sirkulasi.


Kisah dua abad lalu menjadi misteri dunia

Tiga kerajaan telah terporak-porandakan

Lenyap bersama letupan kenang 

Yang memuat di wajah suram kecemasan

Kepada masyarakat Nusa Tenggara Barat

Inilah sepucuk surat dari gunung Tambora.


Pada tahun 1815 telah menyulam tabir

Kisah seorang ulama yang diberi makan oleh 

anjing

Sebuah prasasti sejarah tidak pernah lekang 

oleh waktu

Kekejaman raja pada ulama memberi isyarat 

petaka.


Lihatlah betapapun islam hadir sebagai agama 

yang rahmatan Lil aalamiin

Syekhpun murka setelah dibunuh 

Gumpalan darah menjalar disekujur tubuh 

Hujan batu senada dengan abu vulkanik.


Tak hanya di Indonesia, ia keliling di segala 

penjuru

Menewaskan lebih dari 4000 juta jiwa

Telah mengubah iklim dunia.


Lantas mengapa dengan penuh ambisius

Berkuasa selayaknya raja bertahta 

Sementara pikiran dan logika tak berdaya

Bukanku mengoceh tanpa dalil

Aku hanya ingin menyapa bupati Bima yang 

lupa diri.


Makamba ra makambi telah resah 

Jangan heran jika generasi Tambora menggerutu

Aku buat puisi ini dengan keadaan sadar

Jangan kau batasi apalagi salah memberi arti.


Tambora bukan Bima, bukan Dompu, apalagi 

Nanga Tumpu

Namun Tambora adalah awal dari sebuah cerita 

peradaban manusia

Hingga lunturnya kaisar Napoleon Bonaparte

Telah mewarisi kisah pilu yang mendalam.


Sampai saat ini aku masih saja setia

bersama syair-syair sendu

Memberi kabar duka pada penguasa

Bahwa deklarasi kabupaten Tambora

harga mati!

Post a Comment

0 Comments