Sumber dokumen; pixabay.com |
Penulis: M. Agusfian (Pimpinan Umum LPM DIMENSI tahun 2018-2019)
Banyak orang yang memiliki strategi tersendiri untuk menggapai cita-citanya dengan cara kecukupan finansialnya. Sejak kecil barangkali kita sering diajarkan untuk menabung dari sebagian uang belanja yang diberikan orang tua. Meskipun prinsip yang baik sebenarnya bukan menabung semata, kita mendapat pelajaran untuk bisa hidup hemat, menyisihkan sebagian uang yang dianggap lebih agar tidak terlalu foya-foya. Namun diskusi demikian bukan dalam tulisan ini, Insyaa Allah pada kesempatan lain akan dibahas dan kita fokuskan perihal pilihan kita menabung, apakah harus menabung uang atau emas?
Sebelum lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui definisi mengenai uang dan jenis-jenis uang dalam sejarah perkembangannya secara singkat. Dari berbagai pendapat para ahli, sederhananya uang didefinisikan alat tukar yang digunakan masyarakat dalam sistem jual beli atau pembayaran barang dan jasa, serta sebagai aset berharga. Sebelum berlaku sistem moneter dewasa kini, transaksi jual beli pada awalnya menggunakan sistem barter, mempertukarkan barang dengan barang. Suatu barang ditukar dengan barang lainnya yang dianggap setara nilainya berdasarkan kesepakatan (Insukindro, 1997). Dalam perkembangannya, muncullah istilah uang komoditas yaitu menjadikan satu barang komoditas yang bisa diterima oleh kalangan luas, dan dari segi kuantitas mencukupi kebutuhan untuk berfungsi sebagai alat tukar menukar dan unit hitungan terhadap barang komoditi dan jasa lainnya. Misalnya membeli seekor Sapi dengan dengan beberapa ekor Kambing.
Seiring dengan perkembangan zaman, muncul uang logam yang merupakan suatu barang yang berharga (emas dan perak), barang ini seluruh dunia mengakui beberapa kelebihannya hingga dianggap paling berharga sampai detik ini, hingga orang menyebutnya dengan logam mulia. Pada uang logam ini pada dasarnya ditentukan nilainya sesuai kadar emas atau perak yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, mengambil pendapat Syaikh Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa 1 dinar memiliki kandungannya perak murni 4,25 gram. Kadar perak yang terkandung didalamnya menjadi patokan standar nilai uang untuk digunakan dalam transaksi. Dalam artian, uang logam memiliki nilai interistik.
Di Era kini, uang logam justru nyaris punah. Uang logam telah beralih ke uang kertas yang sebenarnya merupakan sertifikat (banknote) yang diterbitkan lembaga keuangan (Hasan, 2005). Banknote ini sebagai bukti kepemilikan emas pada sebuah bank. Sehingga jika para nasabah ingin menggantikan dengan emas, maka ia cukup untuk membawa sejumlah uang kertas untuk digantikan sesuai ketentuan nilainya dengan emas yang ada di bank. Pertanyaan kritisnya yang bisa diajukan, apakah peredaran uang kertas merepresentasikan emas atau perak yang ada di bank?. Jawaban ini rupanya sedikit rumit, meski bank mengumumkan kepemilikan emasnya, kita tidak mengetahui dimana Gudang emas itu berada.
Masuk pada subtansial, pilihan mana yang lebih menguntungkan kita saat ingin menabung?. Robert Kiyosaki dalam sebuah wawancara di channel youtube menjelaskan bahwa emas dan perak memiliki keunggulan, salah satunya tidak memiliki reaktif sehingga tidak berkarat atau meledak ketika terkena zat yang berbeda. Ketahanan terhadap korosi menjadikan emas harga cukup stabil dalam pasaran dan semakin lama justru mengalami kenaikan harga. Sedangkan uang kertas jika dianalisis tidak memiliki nilai interistik yang jelas. Sebagai bahan telaah, misalkan mata uang 1000 rupiah yang berarti terdapat seribu rupiahnya dalam bentuk barang. Sekarang pertanyaannya rupiah itu seperti apa, dalam bentuk barang atau bagaimana?. Pada kenyataannya mata uang kertas Rupiah, Dollar, dan semacamnya merupakan mata uang yang tidak sama sekali menunjukkan bahwa itu bernilai setara dengan suatu barang atau bersifat abstrak yang tidak ada dalam bentuk fisiknya. Oleh karenanya Robert Kiyosaki berpendapat uang kertas sewaktu-waktu nilai angkanya itupun akan menurun dan bahkan tidak berharga. Terlebih jika terjadinya inflasi, nilai tukar uang akan semakin menurun. Sebab ketika sebuah Negara mencetak uang secara terus menerus, nilai angka dalam uang kertas akan mengalami penurunan akibat banyaknya peredaran uang yang tidak terbatas sehingga dikatakanlah sebagai inflasi. Dampak inflasi ini misalkan uang 1000 rupiah di jaman 1998 berbeda dengan sekarang, bahkan tidak bisa membeli sebatang rokok Surya. Berbeda halnya dengan kondisi emas, jenis dan bentuknya tidak mengalami penurunan akibat dari sifat ketahanannya. Kemudian penurunan harga emas tidak banyak untuk ditemukan alasan untuk mengalami penurunan apalagi emas diproduksi dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karenanya harga emas sangat stabil dalam peredara pasar.
Dari situlah kecermatan kita untuk menabung mestinya di ukur dari nilai suatu barang. Mengingat aktivitas menabung merupakan asset di masa yang akan dating lebih menguntungkan. Keduanya terlihat memang aset yang berharga dan bernilai untuk disimpan ialah emas. Nilai emas tidak akan turun, di masa yang akan datang aset-aset berupa emas tersebut itu masih sangat bernilai. Hal demikian ini dapat dibuktikan dari tahun ke tahunnya harga emas cenderung terus meningkat. Adapun uang kertas justru mengalami sebaliknya, apabila kita menyimpan aset dalam bentuk uang kertas, itu berpotensi merugikan karena nilai mata uang bisa saja dan sangat mungkin merosot seperti penjelasan di atas dan kita banyak kehilangan dari aset tersebut.
Menarik untuk dibahas, berkaitan aliran uang kertas pada sistem perbankan. Bank tidak memiliki uang bernilai interistik, tatkala para nasabah menyimpan uang, sama halnya uang yang disimpan bukan atas kuasa pemilik uang. Dari beberapa diskusi Bersama nasabah yang menyimpan uang di bank, skenario bank hanya memperbolehkan nasabah bisa mengambil 10% dari deposito setiap penarikan. Selain itu bank sendiri tidak memiliki jaminan berupa barang yang ada didalamnya (berupa emas). Jika kita menganggap bahwa uang kertas ibaratnya kwitansi dari jumlah emas. Kemudian dari deposito nasabah, bank mengatur peredaran uang nasabah untuk dikelola dalam bentuk bunga, jaminan-jaminannya tidak main-main, berupa fisik rumah, tanah dan lain-lain. Apabila peminjam tidak mampu melunasi maka jaminan harta bendanya akan diambil. Bank mengelola uang nasabah dengan mengambil keuntungan dari suku bunga dan menyita harta masyarakat dengan denda. Dalam kurun waktu satu hari pengelolaan dana nasabah tersebut sangat menguntungkan mereka. Sementara bank kita sendiri tidak mengetahui uang yang dipinjamkan apakah uang sendiri atau dari deposito nasabah. Pendapat yang mengutarakan dengan bank ini menyangkut ketahanan uang kertas yang kita tumpuk dalam sebuah penyimpanan. Hampir banyak orang lebih memilih untuk menabung di bank, sebab di sana terjamin uang yang mereka simpan akan tersimpan dengan aman.
Mengamati dari diskusi di atas, dapatlah kita menentukan bahwa pilihan yang tepat untuk invetasi jangka panjang, emas lebih efektif untuk diterapkan. Untuk refleksi, dalam Al-qur’an dan As-Sunnah, kekayaan diistilahkan dinar dan dirham. Dunia mengetahui bahwa dinar dan dirham terdapat emas didalamnya sesuai kesetaraan nilai. Ini membuka ruang kajian bahwa emas memang diidentikkan dengan kemewahan. Hari ini pun dunia menempatkan emas posisi teratas. Ini membuktikan Al-Qur’an menginformasikan bahwa barang berharga bagi manusia di bumi ini adalah emas. Islam mengajarkan keadilan, praktek ekonominya pun harus adil. Menukar barang dengan emas sesuai jumlahnya sangat adil karena masing memiliki fisik (real).
Artikel ini telah terbit di blog pribadi penulis affmedia.blogspot.com.
1 Comments
Tulisan yang membuka cakrawala berpikir saya. Baru tau...
ReplyDelete