Kampus Universitas Muhammadiyah Mataram. ( FB UMMAT) |
Mataram, Dimensiummat.com-Di ruangan kerja Universitas Muhammadiyah Mataram, Nusa Tenggara Barat, Wakil Rektor I, Syafril, mengisahkan pernah mendapatkan laporan kekerasan seksual yang menimpa civitas akademika kampus tersebut. Menjelang berakhirnya masa jabatan dia sebagai Wakil Rektor I, Syafril mengatakan telah langsung menindaklanjuti laporan itu. “Pimpinan beberapa fakultas sudah berikan sanksi. Ada yang non-aktif dari mengajar selama dua semester, ada juga yang dipecat,” kata Syafril ditemui di ruangannya. Jumat, 19 Mei 2023.
Sayangnya Syafril yang sejak 24 Mei menjabat sebagai Sekretaris Wakil Rektor I tidak merinci laporan kasus yang dia maksudkan. Wakil rektor I kini dijabat Harry Irawan Johari.
Syafril menyatakan dampak dari kasus kekerasan seksual di kampus menurunkan kepercayaan publik dan berpengaruh terhadap nama baik kampus. Orang tua calon mahasiswa malas menitipkan anak-anaknya di kampus yang memiliki rekam jejak kasus kekerasan seksual.
Kampus, kata dia perlu unit khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual. Sesuai Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi, rektor wajib mencegah kekerasan seksual.
Rektor harus membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sebagai tempat melapor para korban. Selain itu, kampus juga harus memastikan perlindungan, pendampingan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Kampus harus memastikan tindak lanjut laporan itu dan memberikan sanksi kepada pelaku untuk memberi efek jera. “Jangan sampai lembaga penanganan baru terpikir setelah kasus kekerasan seksual jadi viral,” kata dia.
Sekertaris Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Mataram Syafril. (Instagram syafril.dpu) |
Baca juga : Sistem Manual Mahasiswa Mengeluh
Menurut dia, kampus sedang bersiap membentuk satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Saat ini, tim kampus sedang Menyusun kode etik, selanjutnya membentuk majelis kode etik hingga satgas. Selain itu, kampus juga sedang menyiapkan psikolog untuk mendampingi korban kekerasan seksual. “Masih menunggu keputusan dari pimpinan,” ujar Syafril.
Kampus selama ini menggunakan aturan tentang etika dan moral. Jika ada yang melanggar, maka kampus akan memberikan sanksi kategori ringan, sedang, dan berat.
Sanksi ringan dapat berupa pencabutan jam mengajar jika pelakunya dosen. Jika pelakunya mahasiswa, maka kampus tidak memberikan dia bimbingan skripsi. Untuk kategori sedang, dosen tidak bisa naik pangkat dan penurunan pangkat. Adapun, kategori berat berupa pemecatan atau pemberhentian.
Koordinator Divisi Seni dan Olahraga Himpunan Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam, Nurmaratun Sholihah, menyambut baik rencana pembentukan Satgas PPKS itu. Lewat satgas itu, mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual mendapatkan jaminan untuk mengadu secara aman. “Mahasiswa semester akhir yang hendak bimbingan rentan mendapatkan kekerasan seksual. Satgas itu memberi kepastian,” kata dia.
Anggota Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Adrian menyebutkan lembaganya siap mendampingi atau mengadvokasi korban kekerasan seksual di kampus Muhammadiyah Mataram sebelum satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terbentuk.
LBH Apik selama ini kerap sosialisasi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus negeri. “Kami juga sosialisasi cara pengaduan dan bantuan advokasi,” kata dia.
Data Komisi Nasional Perempuan menunjukkan terdapat 67 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan, 35 di antaranya terjadi di perguruan tinggi sepanjang 2015-2021. Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami melalui website kementerian menyatakan 125 Perguruan Tinggi Negeri, terdiri dari 76 PTN Akademik dan 49 PTN Vokasi telah membentuk Satgas PPKS. “Alhamdulillah, saat ini sudah 100 persen PTN membentuk Satgas PPKS,’ ujar dia.
Sebanyak 20 Perguruan Tinggi Swasta sudah membentuk satgas dan 109 sedang proses. Sesuai aturan, keanggotaan satgas terdiri atas unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Jumlah anggota satgas yang ditetapkan harus gasal yakni paling sedikit lima orang, dengan komposisi keterwakilan anggota perempuan paling sedikit dua pertiga dari jumlah anggota dan keterwakilan unsur mahasiswa sekurangnya 50 persen dari jumlah anggota satgas.
“Pembentukan Satgas PPKS diharapkan bisa menjadi gerakan bersama mewujudkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Kehadiran Satgas PPKS akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual,” tegas Rusprita.
Rida Sohibna
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Baca juga : Sistem SIAKAD di Hack Ribuan Mahasiswa Antri
0 Comments