Foto penulis |
Oleh : Radit Fabian (Pegiat Literasi ‘Mahasiswa PPKn UMMat’).
“Pengkhianatan paling besar adalah bila sekelompok penguasa memperdagangkan rakyatnya”. (RdyttFbyann).
Ada berbagai bentuk represif, tidak beraturan, dan ketidakpastian yang memberi warna dalam aneka aspek kehidupan bernegara dan berbangsa akhir-akhir ini, sebagai akibat lemahnya daya “pengendalian” dan hilangnya kekuatan “pengaturan” di tangan rakyat. Setidaknya, secara implisit itu yang terjadi di tiap-tiap wilayah kesuburan bangsa Indonesia.
Tubuh bangsa ini seolah dipenuhi berbagai gerak turbulensi sosial (social turbulence), yaitu semacam pergerakan sosial (mahasiswa dan masyarakat) yang tidak beraturan dan acak: wacana politik yang berkembang tanpa arah; wacana ekonomi yang dihantui fluktuasi kronis; wacana sosial yang dilanda kekerasan tanpa akhir; apalagi membincang wacana budaya, yang kini diselimuti oleh ketidakpastian nilai semua disebabkan krisisnya nilai Demokrasi kerakyatan, Dimana rakyat hanya peserta penggembira atas pertunjukan para oligarki dan elit-elit politik, hingga intervensi rakyat dibatasi dengan ruang regulasi yang mencekam kebebasan berekspresi bagi Rakyat.
Kondisi turbulensi tak terkendali menyebabkan proses demokratisasi berkembang ke arah yang “melampaui” alam demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi tanpa kendali Kekuatan Rakyat. Dan sekarang cenderung praktik Demokrasi Fasisme. Kondisi hiper demokratis, ironisnya, telah menciptakan “zona-zona kemacetan” di hampir setiap sistem: kemacetan pada sistem ekonomi; kebuntuan pada sistem politik; kebingungan pada sistem industri; dan trauma dalam sistem sosial.
Potret Demokrasi Indonesia :
“Ketika kita tarik dalam poros sejarah perkembangan dan pelaksanaan Demokrasi di Indonesia”, Bangsa kita cukup menarik dan perlu kita akui bahwa kehidupan bangsa Indonesia bertahun-tahun praktek sejarah demokrasi di Indonesia memiliki corak khusus bila dibandingkan dengan Demokrasi-demokrasi yang hidup di negara-negara lain. Kemudian memiliki beberapa sifat yang fundamental mulai dari poros ; Sistem Lembaga perwakilan Rakyat yang memiliki pola yang tidak jelas, unikameral, bikameral, atau trikameral.
Yang kedua corak khusus praktek Demokrasi di Indonesia kemudian berbeda dengan negara lain, Aparatur Demokrasi di tingkat pusat yang menjadi poros-poros kekuasaan tidak hanya terdiri dari tiga macam lembaga negara saja tetapi terdiri dari empat macam lembaga negara yang memegang kekuasaan yaitu kekuasaan Eksaminatif oleh BPK, Legislatif oleh MPR, DPR, dan DPD, Kekuasaan Eksekutif Oleh Presiden dan Yudisial oleh MA dan MK. Hingga KY.
Yang terakhir hubungan antara tiga poros kekuasaan tidak memakai model pemisahan tetapi pembagian kekuasaan yang membuka kemungkinan saling mempengaruhi hingga poros pengawasan.
- Kedaulatan Rakyat yang Terpasung
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang masih labil dan hanya demokrasi sebatas formalitas walaupun bangsa ini telah dinobatkan menjadi negara demokrasi nomor tiga terbesar di Dunia setelah India dan Amerika serikat. Memandang sikap elit-elit politik yang munafik, feodalistis dan otoriter melalu public policy (kebijakan) yang terjadi dapat kita pahami bahwa kondisi objektif kedaulatan rakyat yang digagas diatas tinta hitam (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945) telah menjadi selogan pembodohan bagi rakyat yang ada, konsep kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat kini telah berbalik haluan menjadi kedaulatan para penguasa untuk investor asing.
Sungguh sulit untuk kita dapat meramalkan bagaimana bangsa ini bisa menuju kepada demokrasi yang ideal. apalagi kondisi social saat ini sungguh keras hingga konsekuen yang dirasakan oleh rakyat yang ada pada praktik demokrasi telah menunjukan fenomena pemerintah yang otoriter nyaris totaliter seperti di negara Barat yang pemimpinNya fasis dan kejam. Secara substantif demokrasi saat ini tidak dapat mewujudkan Civil Society, berbudi luhur hingga mempunyai harkat dan martabat. Dan ini kondisi demikian sangat mustahil dalam menuju Social Walfare State (Negara Ber Kesejahteraan Social).
Ungkapan “Karl Marx” Bahwa suatu negara yang sejahtera (Social Walfare State) tidak dapat dicapai secara demokrasi atau reformasi, tetapi secara revolusi. Khusunya Revolusi yang dilakukan oleh kaum pekerja untuk melawan ninggrat atau borjuis, seperti revolusi yang terjadi di Rusia tahun 1917.
Tapi menurut ku pernyataan Karl Marx dapat kita kritisi bahwa untuk mencapai negara yang ber kesejahteraan bisa-bisa dengan praktik demokratis dan reformasi namun kondisi objektif hari ini yang terjadi di bangsa Indonesia para pimpinan pucuk kekuasaan tidak memahami bagaiman konsep dalam menjalankan roda demokrasi tuk mencapai Social Walfare State. Plato mengungkapkan untuk mencapai sistem yang ideal diperlukan pemimpin yang filosofis (bijaksana) tapi pemimpin bangsa indonesia hari ini sangat jauh dari kriteria tsb.
Bisa kita rasakan bagaiman praktek Doktrin Demokrasi yang di berhalakan oleh penguasa elit-elit politik hari ini. Kita menyaksikan sejarah bahwa Reformasi adalah dalil otentik lengserNya penguasa yang zalim dan otoriter, sebagaimana diketahui bahwa reformasi diIlhami oleh Renungan-renungan pemikiran para kaum muda yang revolusioner. oleh karenanya, Reformasi birokrasi yang dihasilkan oleh perjuangan kaum muda sangat filosofis,empiris, dan partikal.
Tapi keadaan hari ini chaos terjadi Dimana dan telah banyak bentuk kekuasaan yang cenderung tirani, karena konsep-konsep pemimpin hari ini terlalu abstrak dan fokus terhadap kekayaan modal individu yang dikeluarkan sejak pemilu lalu hingga demokrasi kini hanya stempel bagi para penguasa.
Seharusnya para elit-elit politik memahami bagaimana konsep Demokrasi secara fundamental adalah “Partisipasi” baik dalam keterlibatan pemilihan dan penentuan public policy hingga musyawarah mufakat. Namun para elit hari cenderung memiliki paham demokrasi yang Individualisme, Anarkisme hingga Fasisme dan hal demikianlah yang di Imani oleh para penguasaan saat ini dan tidak jauh seperti praktek cara memimpin yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin yang begitu Kejam dan Mengerikan. Sungguh banyak distorsi yang dilakukan oleh pemimpin bangsa Indonesia hari ini dan telah melenceng dari pada amanat konstitusi bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan Rakyat. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945.
Keadaan sistem Demokrasi Bangsa Hari ini tidak jauh beda dengan Doktrin Demokrasi Fasisme dan Totalitarianisme dari perwujudan sistem negara yang diktator. Kita lihat saja bagaimana mulai dari kebijakan publik hingga Konstitusi san praktek monopoli hukum hari hari ini yang tidak pro terhadap rakyat, seolah-olah penguasa memerintah secara tangan besi menghalalkan segala cara seperti ajarannya Machiavelli, hingga realitasnya Rakyat pribumi yang digusur ditanah sendiri namun rakyat pribumi akan diperhatikan dan dimobilisasi ketika ada kepentingan mereka dalam mempertahankan hasrat kekuasaannya.
Keinginan, cara berfikir dan perasaan pemimpin hari ini tak jauh dari doktrin pahaman fasisme.
Demokrasi dalam Persimpangan dan Tidak Untuk Rakyat
Saat ini sedang terjadi keruntuhan kewibawaan dan kedaulatan demokrasi di mata pemilih. Demokrasi dibunuh oleh ego serta supremasi kapital dan juga terjadinya konglomerat politik yang sangat akut. Dalam fase paling ekstrim, sewajarnya jika masyarakat sudah tepat untuk melalaikan dan meninggal sistem dan juga proses demokrasi. Klaim jika demokrasi sebagai produk gagal dan lantas untuk ditinggal. Abaikan saja dan pilih untuk mengabaikan semua kitab dan perjanjian demokrasi.
Keadaan Proses sistem demokrasi yang tidak untuk rakyat adalah memoar tentang wajah gelap dan demokrasi acap kali menyengsarakan kehidupan rakyat banyak. Demokrasi datang mulut penguasa trus demi penguasa lalu dijalankan oleh para penguasa. Dan itulah kondisi demokrasi kita kini yang sedang berada pada kendali tangan para kawanan bandit dan preman. Gang-gang elit kriminal politik yang membajak demokrasi bersama para investor hingga mereka merampok kedaulatan Rakyat Indonesia.
Mewujudkan konsep Demokrasi Kerakyatan sangat mustahil ketika keadaan prinsip Demokrasi kini yang semakin memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi para sindikat penjahat. Mulai dari pada tertutupnya akses informasi bagi public hingga keterlibatan masyarakat dalam penentuan kebijakan yang kemudian minimnya akses keterlibatan atas ruang bagi rakyat menyebabkan mereka para elit-elit kelompok kriminal bebas memasarkan dengan bebas berbagai macam UU yang memberikan ruang kebebasan bagi para investor asing dan pada akhirnya Demokrasi hanya stempel dan rakyat diikat kaki tangan-Nya oleh sistem atas nama dalil Demokrasi (Dari Rakyat Dan Untuk Rakyat).
Logika kekuasaan yang dipakai oleh para bandit dan elit-elit politik kini dapat kita saksikan dan rasakan tradisi/kultur yang mereka mainkan secara sistematis Dimana mereka berkuasa berbagai macam politik jalan pintas yang ditempuh, hingga bisnis ilegal para kelompok bandit elit elit ini telah menggugurkan adigium demokrasi yang katanya untuk rakyat. Dan para bandit elit-elit politik ini semakin bebas menari-menari diatas kesengsaraan Rakyat dengan legitimasi stempel demokrasi dalam lindungan aparatus negara baik polisi dan alat negara lainya.
Pada Muaranya Demokrasi harus memang perlu dipahami oleh Elit-elit politik dan para oligarki bahwa Inti Demokrasi adalah penghormatan terhadap nilai-nilai Kemanusiaan.
KEBEBASAN DI UJUNG LIDAH
Kebebasan berekspresi kini diAnggap kebablasan oleh para oligarki Dimana kebebasan merupakan wujud eksistensial protes dan ketidakpuasan masyarakat terhadap program dan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah namun pada muaranya semua bentuk kritik dan protes baik melalu segala penjuru instrumen media dan secara langsung telah dianggap sebagai bentuk penghinaan dan dianggap kebablasan oleh rezim hari ini.
Lembaga survei Indikator Politik Indonesia mengungkap hasil survei terbaru tentang kebebasan berpendapat Melalui survei yang dilakukan pada 11- 12 Febuari tu menunjukkan sebanyak 62,9 persen masyarakat merasa takut berpendapat. Kebebasan menjadi hal penting dalam negara demokrasi seperti Indonesia. Kebebasan tersebut termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi dan mempertahankan argumen di muka umum. Sebagian besar negara maju menjunjung tinggi nilai kebebasan setiap individu. Hak atas kebebasan ekspresi dan berpendapat di Amerika Serikat diatur dalam dokumen Virginia Bill of Rights (12 Juni 1776), Declaration of Independence (4 Juli 1776), dan Undang-Undang Dasar.
Dalam sidang pertama PBB pada 1946, sebelum disahkannya Universal Declaration on Human Right atau traktat-traktat diadopsi, Majelis Umum PBB melalui resolusi nomor 59 (I) terlebih dahulu menyatakan “Hak atas informasi merupakan Hak Asasi Manusia Fundamental…standar dan semua kebebasan yang dinyatakan “suci’ oleh PBB.
Apalagi keadaan negara kita sekarang bangsa Indonesia yang kemudian memiliki konstitusional yang jelas baik secara tertulis, kemudian ada perintah yang fundamental diatur bagaiman hak-hak individu. Indonesia adalah negara hukum pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hingga mengatur bagaimana kebebasan itu tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Berpendapat diMuka umum baik melalui ruang gerakan jalanan (demonstrasi) kini dianggap membenci terhadap negara padahal gerakan-gerakan yang diupayakan adalah bentuk perlawan dalam menyelesaikan problematik yang terjadi. Namun bagaimana responsif rezim hari ini masyarkat sipil hingga mahasiswa diperhadapkan dengan tangan besi oleh para kekuasaan melalui APH Kepolisian, kriminalisasi terhadap gerakan rakyat terjadi Dimana-mana hingga Setiap Mulut yang bersuara maka bersiap-siaplah hilang dimuka bumi milik elit-Elit politik dan oligarki.
Dimana lagi kah rakyat dan pemuda kini bisa memasifkan hadiah dari Tuhan atas kebebasan yang fundamental ia miliki. Ruang publik, baik media social hingga gerakan jalan kita dibungkam habis-habis melalui regulasi yang diatur oleh sekelompok rezim yang biadab. Ketika aturan dibentuk yang pada muaranya adalah mengatur sesuatu yang tidak teratur agar menjadi teratur namun kini yang di interpretasikan oleh para rezim bahwa kebebasan hanya milik penguasa dalam mengatur segala sektor rakyat, baik kebebasan dalam menggusur hingga kebebasan dalam mencabut nyawa manusia dan hal demikianlah yang terjadi saat ini di bangsa Indonesia atas kelakuan pemimpin yang penuh dengan hasrat Konyol.
Cengkraman terhadap kebebasan berpendapat milik manusia adalah bentuk bantahan atas hadiah Tuhan yang kemudian kebebasan merupakan hak dan fitrah manusia sejak dalam kandungan baik ia bebas dalam menentukan arah kehidupan nya. namun lagi-lagi kebebasan berpendapat kini berada Diujung lidah tak ada lagi lidah-lidah yang berani menyuarakan kebenaran baik melalui instrumen media dan apapun itu sebab siapa saja yang bersuara akan ada bentuk peraturan biadab yang akan menjeratnya sebut saja UU ITE.
Kita dapat merasakan bagaimana ruang kebebasan hari ini, masyarakat dan mahasiswa kini terkurung dalam Polesan kebijakan kriminal dan Law Enforcement. Seolah-olah kebebasan yang dilakukan oleh Masyarakt dalam menyampaikan ide dan gagasan hingga pendapat kini bisa dipidana sebab dianggap sebagai social crime. Sedikit saja perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat akibat public policy akan dianggap pemberontakan karena tak menyetujui atas kebijakan yang disusun oleh mereka (penguasa).
0 Comments