Iklan

Represifitas Aparat Kepolisian Dalam Pengamanan Massa Demonstran

 


Foto : Penulis 



Oleh : Ardian Saputra 

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, apa lagi untuk menyatakan pendapat sebagai mana amanat konstitusi yang telah di atur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Di ujung kontestasi pemilu dan polarisasi politik yang terjadi, aksi demontrasi pun semakin marak terjadi, hal ini yang menjadikan netralitas dan profesionalitas aparat kepolisian mendapat sorotan yang tajam dari berbagai kalangan masyarakat dan mahasiswa. Pembatasan kebebasan berpendapat di muka umum telah menimbulkan citra buruk bagi aparat kepolisian di mata masyarakat, akibat berbagai tindakan represif dan tidak ter-ukurnya penggunaan diskresi yang kerap kali terjadi.

Salah satu pengejawantahan kebebasan berpendapat dan berekspresi ialah melalui unjuk rasa. Unjuk rasa yang merupakan mekanisme penyampaian pendapat oleh masyarakat kepada pemerintah (umumnya) atau institusi yang dinilai meresahkan rakyat dengan maksud menyampaikan keluh kesah masyarakat terhadap pemenuhan haknya. Unjuk rasa sebagai mekanisme yang mampu mengadvokasi keresahan masyarakat dinilai memiliki dampak yang besar ketika hak-hak nya tidak terpenuhi.

Sehubungan dengan hal tersebut, profesionalitas kepolisian kini kembali menjadi sorotan, terkait penanganan terhadap bentuk-bentuk ekspresi politik, kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat. Dalam konteks ini, angka pelanggaran dalam penggunaan kekuatan yang berlebihan, diskresi yang sewenang-wenang, tindakan kekerasan dan penyiksaan terhadap massa aksi, sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi politik.

1. Unjuk rasa sebagai instrumen kebebasan berpendapat 

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, sesuai dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia.

Menyatakan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia sebagaimana di sampaikan Karel Vasak bahwa kebebasan berpendapat sebagai hak generasi pertama yang disebut dengan hak dalam bidang sosial dan politik. Terdapat berbagai aturan/perangkat hukum yang telah mengatur mengenai kebebasan berpendapat, yakni Pasal 19 DUHAM, Pasal 19 ICCPR, Pasal 28E ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 23 UU/39/1999.

Ada kalanya sebagai pemegang hak yang dijamin dalam konstitusi, rakyat menuntut haknya yang dirasa dilanggar oleh pemerintah. Maka melalui mekanisme unjuk rasa inilah masyarakat mengadvokasi kan tuntutannya. Mekanisme ini diatur dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Kemudian, apabila ditinjau dalam Pasal 25 UU 39/1999 terdapat pengaturan mengenai hak menyampaikan mendapat di muka umum.

Suara publik yang secara massif disuarakan kepada pemerintah telah terbukti memiliki dampak yang sangat kuat. Hal tersebut telah terbukti dari sejarah runtuhnya rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto. Rezim Orde Baru merupakan suatu rezim yang bersifat otoriter, karena disebabkan represi politik menjadikan pemerintahannya tidak memiliki oposisi atau bahkan kebebasan sipil. Banyaknya suara dan tekad dari masyarakat dan mahasiswa akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan kekuasaan yang telah dijabat selama 32 tahun. Unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dinilai menjadi suatu pembelajaran untuk turut berpartisipasi dalam perpolitikan negara, dan masyarakat akan merasakan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

2. Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penanganan unjuk rasa 

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kemudian, terkait wewenang kepolisian terhadap unjuk rasa, diatur lebih lanjut tertuang pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan dan penanganan perkara Penyampaian pendapat di muka umum serta Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tantang Pengendalian Massa. Adapun yang dimaksud dengan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum meliputi unjuk rasa, pawai, rapat umum, mimbar bebas, penyampaian ekspresi secara lisan dan kegiatan lain yang intinya bertujuan menyampaikan pendapat di muka umum juga sejalan dengan yang diatur pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998.

Dalam Pasal 9 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 telah mengatur bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, pejabat Polri berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan secara proporsional, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tak bersalah, dan menyelenggarakan keamanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, diatur pada Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 hingga Pasal 28 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012. Dalam konteks aksi unjuk rasa, baik aksi massa maupun aparat kepolisian, haruslah mengedepankan pendekatan humanis dan sejauh mungkin menghindari tindakan represif. Situasi dalam sebuah aksi unjuk rasa sering kali sarat dengan emosi dan benturan kepentingan, sehingga apabila terjadi tindakan yang melanggar hukum atau mengarah ke perbuatan anarkis, pasti akan memancing perlawanan pihak lainnya, pada akhirnya akan menimbulkan banyak kerugian material dan immaterial bagi para pihak dan berdampak negatif pada stabilitas negara.

3. Tindakan Represif Aparat kepolisian terhadap Massa demonstran 

Kekuasaan dan hukum yang praktis menjadi dua entitas dan menjalin diri dengan sangat menyatu, dimana hukum dibuat dan disahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagai anak sulung yang senantiasa berusaha menerobos ke celah-celah yang mudah direkayasa sehingga hukum lebih dirasakan sebagai alat penguasa, seharusnya menjadi pengontrol kekuasaan.

Mulai dari tingkat Polsek hingga Polda dengan berbagai ragam tindakan yang dilakukan aparat kepolisian kepada massa demonstran, seperti penembakan, penyiksaan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka dan tewas. Penggunaan kewenangan dan diskresi oleh anggota POLRI dengan menggunakan kekerasan dalam penanganan kasus atau proses penegakan hukum, serta pengawasan yang lemah oleh pihak internal maupun eksternal kepolisian. Situasi tersebut memperlihatkan bahwa saat ini POLRI dihadapkan pada situasi yang disebut the paradox of institusional position.

Ditengah maraknya kontestasi politik dan polarisasi politik di masyarakat turut menjadikan netralitas dan profesionalitas aparatur kepolisian mendapatkan sorotan yang tajam dari publik. Diantaranya dalam hal penanganan terhadap bentuk-bentuk ekspresi politik, kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat di Indonesia saat ini. Akibatnya, muncul stigma, tuduhan atau asumsi negatif di kalangan masyarakat dan mahasiswa, angka pelanggaran dan pengguna kekuatan yang berlebihan, diskresi yang sewenang-wenang, tindakan kekerasan dan penyiksaan, banyak dipengaruhi oleh situasi politik sepanjang setahun terakhir. 

Dalam negara demokrasi sejatinya, kebebasan berkumpul dan berpendapat merupakan salah satu instrumen yang mampu membawa perubahan sosial. Namun, situasi tersebut menuai kritikan dan menjadi masalah yang problematik dan menyayangi situasi demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia adalah terkait dengan kualitas kebebasan berkumpul. Isu ini merupakan isu yang fundamental yang rentan mendapatkan tantangan untuk ditegakkan. Pemerintah harus menjamin berjalannya kualitas demokrasi dengan perlindungan hak-hak fundamental yang akan memberikan corak atas karakter demokrasi itu sendiri, salah satunya melalui perlindungan kebebasan berkumpul.

Post a Comment

0 Comments