Dok. Ist/beritasatu.com. Penulis oleh: (Amanullah Zaki, Annisa Husnul Khotimah, Aldafa Satya Mahadika, Alfina Damayanti, dan Alfi Putri Mulada) |
Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua yang tengah berjalan saat ini, setidaknya cukup berhasil membawa Indonesia kepada usaha pemerataan pembangunan yang hampir menyeluruh. Pembangunan tidak pelak melibatkan perpanjangan tangan dari China setelah Jokowi setuju untuk bergabung dalam proyek ekonomi BRI (BELT AND ROAD INITIATIVE).
Pada masa orde lama, tepatnya pada kepemimpinan Presiden Soekarno, proyek serupa mengalami kebuntuan belum dapat terealisasikan, oleh karena itu dana proyek yang dicanangkan dari China tidak dapat dilewatkan begitu saja oleh Jokowi. Keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia sendiri ialah suntikan dana yang disanggupi pihak China sebanyak 90% dari total dana yang dibutuhkan. Tentu saja dengan latar belakang usaha pemulusan Jalur Sutra Baru untuk perdagangan yang direncanakan.
Keterbukaan Indonesia terhadap datangnya berbagai investor luar negeri, merupakan hasil dari persetujuan Jokowi atas terciptanya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 yang lalu. Meskipun mendapat beberapa kendala, terutama ketidaksetujuan masyarakat yang berperan sebagai bottom dalam negara. Nampaknya aksi protes besar-besaran yang mewarnai penjuru negeri tidak juga menumbangkan eksistensi tumbuhnya UU baru hingga saat ini.
Selain dari itu, keinginan Jokowi akan memindahkan Ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur mendapat tantangan dari berbagai kalangan. Meskipun pada akhirnya proyek tersebut tetap dilaksanakan dan melakukan perpindahan secara bertahap. Permintaan Jokowi dijadwalkan akan terealisasi secara penuh pada tahun 2024 mendatang.
Tidak sampai disitu, Jokowi semakin eksis setelah mampu membawa Indonesia sebagai Presidensi dari forum G20. G20 ialah forum kerjasama multilateral berbasis ekonomi yang beranggotakan 19 negara termasuk Indonesia dan Uni Eropa. Pencapaian ini tentu merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk semakin berkiprah di ranah Internasional, sebagai lahan untuk meningkatkan prospek ekonomi dan keuangan domestik. Keberhasilan yang ditorehkan Jokowi bagi Indonesia tentunya menimbulkan harapan-harapan besar lainnya. Mengingat sejarah kegagalan Indonesia menjadi negara maju pada orde lama adalah pelajaran berbagai pihak, bahwasannya kesempatan tersebut harus mampu diciptakan kembali dan diraih. Keinginan negara untuk memiliki pemimpin yang berintegritas tinggi bukanlah sebuah kabar buruk belaka.
Munculnya mosi 3 periode merupakan inisiatif dari pemikiran Surya Paloh, seorang petinggi Partai Nasdem yang secara terang-terangan mengakui keinginannya agar Jokowi dapat mengisi kursi kepresidenan pada Pemilu selanjutnya. Sejalan dengan fakta bahwa partai inilah yang menyokong kepemerintahan Jokowi. Meski demikian, ia sendiri dengan jelas menyadari bahwa hal tersebut bertentangan dengan konstitusi yang ada. Cetusan Surya Paloh akhirnya menandai adanya simpatisan pro terhadap mosi jabatan Jokowi 3 periode berikutnya. Isu ini kemudian dibabat habis dengan penolakan mosi oleh Jokowi melalui pengakuan Fadjroel Rachman selaku juru bicara presiden. Kemudian apa yang perlu diperhatikan dari lahirnya mosi Jokowi 3 periode? Hal pertama yang dapat ditangkap ialah bahwa persoalan tersebut sudah jelas melenceng dari ketentuan konstitusi oleh UUD 1945, yang dengan jelas mengatur masa jabatan presiden hanya diperuntukkan selama dua dekade.
Jika melihat kembali sejarah Indonesia akibat dari adanya pembatasan masa jabatan, tidak ditetapkan secara sembarangan melainkan dilatarbelakangi oleh dua peristiwa besar, yaitu G30S/PKI dan kejatuhan rezim orde baru 1998. Dari kedua kepemerintahan Ir. Soekarno dan Soeharto terdapat kesamaan jelas, yaitu bagaimana kedua pemimpin ini hampir menjabat sebagai presiden seumur hidup. Pembatasan hak masyarakat dan pers pada kedua orde ini menyesakkan masyarakat Indonesia. Ketika Soekarno berdampingan dengan PKI, hutang pertama Indonesia pada bank dunia (World Bank) juga penyelewengan kewenangan.
Lain halnya dengan Soeharto yang melibatkan militer dalam perpolitikan, tidak mampu mengatasi krisis ekonomi, pelanggaran HAM dan korupsi yang melonjak. Namun naasnya mereka masih bersiteguh dengan keotoriteran, dimana sudah jelas bahwa yang menjadi dasar negara adalah demokrasi, yakni dimana rakyat memiliki andil dalam memperhitungkan dan menentukan jalannya sebuah pemerintahan. Pada akhirnya mereka harus melepas kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat.
Lalu, apakah Indonesia harus kembali mengalami hal yang sama? Tidakkah cukup peristiwa lampau mengingatkan bahwa kekuasaan berlebih adalah sesuatu yang bersifat mengancam. Apabila mosi ini berlanjut, kemudian mampu meraih simpatisan yang lebih banyak, bersamaan dengan adanya amandemen UUD 1945 baru, yang didukung oleh pemegang kursi pemerintahan bukanlah hal yang mustahil terjadi. Tidak adanya jaminan bahwa mosi 3 periode akan terhenti begitu saja jika berhasil dilaksanakan. Namun besar kemungkinan bahwa amandemen-amandemen akan terus dilakukan. Hal ini membawa kita tidak hanya pembatasan masa jabatan presiden, namun pada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dan bagian ketika hal tersebut berlangsung. Akan lebih banyak permainan politik kotor yang beratasnamakan kepentingan nasional, sayangnya rakyat akan dipaksa untuk menerima hal tersebut secara cuma-cuma seperti yang terjadi saat ini.
Memiliki kekuasaan dalam waktu yang lama akan menimbulkan suatu sifat alami dapat berbentuk kenyamanan, hingga pada titik mengkhawatirkan, yaitu kewaspadaan egoisme. Sifat waspada akan ada pihak lain yang menjatuhkan kekuaasaan seperti yang dirasakan Soekarno, oleh karenanya mengambil keuntungan dengan berpihak pada PKI, dimana saat itu berperan sebagai salah satu partai pendukung terbesar di Indonesia masa itu. Kemudian era Soeharto, beliau memiliki kewaspadaan terhadap kemampuan ekonomi dari etnis China yang dianggap akan menggeser peran pribumi dengan menerapkan kebijakan asimilasi yang berujung pada politik deskriminasi hingga menyebabkan pelanggaran HAM. Kekuasaan juga meliarkan egoisme, dimana kedua pemerintahan orla dan orba sama-sama mengedepankan keotoriteran mereka dalam bertindak. Egoisme beranggapan bahwa, sebaik-baiknya pemerintah adalah yang berasal dari keputusan dengan tujuan mereka pribadi lalu menyepelekan kebutuhan masyarakatnya. Egoisme diperlihatkan Soekarno secara terang-terangan, ketika ia melakukan perampingan terhadap partai politik, hanya menyisakan dua partai yang dia anggap terus mendukung masa pemerintahannya.
Menurut penulis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai akan ada kemungkinan terjadinya politik kotor apabila UUD 1945 diamandemenkan kembali, ialah ketika tujuan utama diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat Indonesia, sedikit demi sedikit digeser dan disamarkan untuk memenuhi tujuan kelompok-kelompok tertentu. Tidak dapat terelakkan bahwa setiap penguasa yang berhasil meraih kursi kekuasaan pastilah disokong oleh orang-orang berkuasa pula. Bahkan untuk melakukan kampanye pada masa pemilu sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit dan dilakukan berulang kali. Adanya upaya tindakan menjadikan pemimpin setingkat presiden layaknya boneka pemerintahan merupakan hal yang sangat fatal karena dapat meruntuhkan negara itu sendiri. Asumsi ini terkait dengan pertanyaan, mengapa orang-orang berkuasa beralih menjadi pendukung suatu pemerintahan atau golongan apabila tidak disertai dengan tujuan tertentu, mengesampingkan akan adanya persamaan persepsi ataupun tidak? Kita melihat bagaimana orang-orang ini saling memberi keuntungan satu sama lain, bagaimanapun ada pihak dibalik layar yang berfungsi sebagai pengontrol dari tindakan seseorang yang mendapat atensi dari masyarakat lainnya. Apabila benar ada sekumpulan orang-orang tertentu yang tidak menginginkan untuk mengotori tangan mereka secara langsung.
Oleh karenanya mereka memanfaatkan orang lain sebagai boneka yang menerima segala perhatian baik berupa pujian ataupun kesalahan. Ini adalah bagaimana mereka memainkan politik yang terkesan kotor untuk mencapai tujuannya. Mengingat kembali pada saat Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta, yang mana telah berhasil menyedot perhatian rakyat pada dirinya yang ramah. Simpatisan yang ia peroleh tidak perlu diragukan, kembali terlebih pada saat diumumkan sebagai calon presiden dibawah naungan PDIP bahkan memberikan coattail effect bagi partai tersebut. Image baik dan perhatian masyarakat yang terfokus ada Jokowi tentulah dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para pendukungnya, bahkan ketika mampu untuk menduduki kursi kepresidenan pada periode kedua. Namun adanya penolakan Jokowi atas mosi jabatan 3 periode, setidaknya mengantarkan kita pada ketenangan sementara, yang mana pada kenyataannya masih ada kurun waktu kurang lebih 3 tahun lagi sebelum pemilu kembali diselenggarakan. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada masa-masa tersebut, apakah Indonesia akan kembali mengulang sejarah dengan masa jabatan presiden yang panjang atau tidak.
0 Comments