Foto Fauzi
Oleh : Fauzi Fz
Ramadhan sebentar lagi akan berpulang pada pangkuannya. Dia memberikan kita banyak pengalaman pribadi yg dialami oleh setiap individu dengan segala pencapaiannya. Ramadhan akan pamit kepada manusia yang sudah mempergunakan jasanya.
Entah tahun depan kita masih dapat mencumbuinya atau tidak adalah perkara ghaib yg tidak bisa kita prediksi. Namun, sungguh harapan itu selalu ada. Semoga kita selalu diberikan umur panjang agar masih dapat beretegur sapa dengannya. Amiin.
Akan berakhirnya Ramadhan menandakan senja “Kemenangan Diri” untuk kembali pada yg Fitrah telah di capai masing-masing dari kita pada skala yg dibuat. Kemenangan itu disepakati sebagai Idul Fitri yang merupakan Hari Raya bagi seluruh umat Muslim di Dunia untuk kembali pada diri yg Suci (Nafsul Mutmainnah). Dia menjadi hari yang ditunggu-tunggu umat Islam selepas menjalankan ibadah Puasa Ramadhan.
Hal itu ditandai dengan gemuruh Kumandang Takbir yang menghiasai nada-nada langit yang menggema. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Wa Lilla Ilham. Begitulah sedikit penggalan liriknya yang sering kita serukan.
Lantas sejenak saya mengajak bertaddabur bersama, apa maksud kumandang itu sebenarnya?
Apakah dengan menggaungkan itu lantas akan merubah posisi Kebesaran Allah?
Atau apakah dengan tidak menggaungkan itu akan memperkecil skala kebesaran Allah?
Jika jawabannya tidak, maka apa maksud tersirat di balik lantunan Gema Takbir itu?
Jika jawabannya iya, maka bukankah kita akan mempertanyakan kembali Ke Maha Besaran Allah SWT??
Kalau saya pribadi berpendapat bahwa maksud dari lantunan "Gema Takbir" itu adalah wujud semangat dan kecintaan kita pada Nur Ala Nur Allah SWT yg telah ada dalam setiap diri manusia sebagai bentuk rasa syukur kesempurnaannnya. Di dalamnya berisi rasa cinta dan kasih sayang yang berujung menjadi rahmat bagi semesta alam baik itu sesama manusia atau makhluk ciptaan Allah lainnya atas semangat perubahan sosial yang di bawa.
Terciptanya kedamaian diri yang wujudnya adalah kedamaian sesama manusia dan alam adalah isyarat di balik Gema Takbir. Baldatun Tayibbatun Wa Raffun Gaffur.
Buktinya adalah setiap perjuangan perubahan sistem sosial-masyarakat baik itu konteks kemerdekaan Negara Indonesia dan Islam di Makkah/Madinah pasti selalu ada Gema Takbir yg mengikuti. Dan menariknya setiap perjuangan itu lahir pada bulan penuh keberkahan yakni Bulan Suci Ramadhan yang telah kita lalui.
Kita boleh berbeda pendapat dalam memaknai hal ini, karena setiap kita dapat memberikan pendapat berbeda. Namun, jika kita masih belum mampu mencapai maksudnya maka akan menjadi tanya lanjutan “Pentingkah Idul Fitri/Lebaran Itu”??
Pada narasi tanya lainnya apakah dia (takbir) itu hanya sekedar ucapan retorik yg sama sekali tak berwujud pada “Habluminannas”?
Jika tidak lantas bagaimana seharusnya?
Jika iya, maka hal itu menggugah kembali tanya “Pentingkah Idul Fitri Itu”?
Karena saya meyakini bahwa ajaran Baginda Rasulullah SAW dalam perjalannya mencari arti kehidupan (jawaban di angkat menjadi Nabi 40 Tahun bukan umur lainnya) dan dakwahnya dalam fase yg dilakukan memberikan saya pelajaran bahwa setiap masalah private manusia ke Allah SWT (Habluminaullah) baik itu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan lainnya yang menghasilkan kesucian diri/fitrah diri akan terlihat pada wujud Habluminannasny.
Bersikap husnuzon, ahlaq yg baik ke pada sesama dan alam, hingga puncaknya adalah Dinnul Islam atau Tatanan Keselamatan yg teratur dalam semua sendi Kehidupan Manusia.
Senada dengan itu Emha Ainun Najib atau sapaan akrabnya Mbah/Cak Nun mengatakan bahwa amaliyah Ramadhan yg telah kita lalui terutama puasa masih berada pada jenjang elementer atau dasar/tingkatan pertama karena hanya memberi efek pada dimensi pribadi. Akibatnya kita pura-pura percaya, percaya bahwa hal itu adalah metode untuk menempuh perjalanan kembali ke kefitrian atau membersihkan diri dari dosa-dosa besar maupun kecil.
Padahal, tolak ukur keberhasilan Habluminaullah dalam konteks amaliyah Ramadhan itu harusnya memberikan dimensi yang lebih luas diluar diri yakni tercipta kefitrian perilaku sosial, kefitrian tatanan sistem, kefitrian manajemen dunia politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan.
Belum atau bahkan tidak terciptanya wujud Amaliyah Ramadhan itu pada lini kehidupan manusia yakni Kefitiran Sosial, Ekonomi, Budaya, Politik, dan Hukum berupa Dinnul Islam dapat menjadi bukti ketidakutuhan kita dalam menjalani rutinitas ibadah itu. Adanya pola kehidupan manusia yang bergerak stagnan dan tidak ada sama sekali dalam ajaran Islam misal konsep Persaingan masih Merajalela, Kemiskinan masih tinggi, Strata Sosial semakin melebar, Keadilan Ekonomi dan Hukum masih belum ada, Riba yg masih merajalela dan menghidupi aliran darah manusia, maka dapat menjadi bukti Kegagalan kita Dalam Memahami Tingkatan Tertinggi Amaliyah Ramadhan serta Gema Takbir yg kita lantunkan atau segala perilaku Habluminaullah yg dijalani.
Dari sini pulalah saya berpendapat bahwa Ramadhan yg selalu kita lalui hingga saat ini adalah rutintas tahunan belaka yg tujuannya hanya menggurkan kewajiban karena tidak punya dampak yg meluas.
Sehingga jika tidak adanya perubahan tersebut pasca Ramdahan itu dalam moment Fitri esok, maka saya akan kembali membuka lembaran tanya masih Pentingkah Idul Fitri/Lebaran Itu???
Semoga ini menjadi renungan bersama untuk kita semua agar dapat memberikan perbaikan dan kebaikan bagi struktur sosial-masyarakat sebagai wujud penghambaan kita pada Allah SWT apapun bentuk ibadahnya. Sebab Puncak aktivitas itu adalah kebermanfaatan kita bagi manusia lainnya.
Selamat Berhari Raya Idul Fitri.
Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
0 Comments